Reykjavic: Islandia, negeri kecil di Kutub Utara, menjadi korban krisis ekonomi global saat ini yang terparah. Pemerintah negara itu sudah dua hari menghentikan perdagangan di bursa saham, mengambil alih tiga bank yang dibelit kredit macet, dan membuat bank baru untuk mengambilalih operasi dalam negeri salah satu bank yang ambruk.
Buruknya keadaan di Islandia, negeri dengan hanya 320 ribu penduduk, membuat Perdana Menteri Geir H. Haarde memperingatkan bahwa negara itu sekarang menghadapi risiko "kebangkrutan negara".
Krisis itu juga mempengaruhi puluhan ribu warga Eropa di luar Islandia karena mereka menjadi nasabah bank-bank Islandia.
Bursa saham Islandia, OMX Nordic Exchange, pada Kamis (9/10) menyatakan bursa akan ditutup sampai pekan depan karena "kondisi pasar yang tidak biasa".
Pada Kamis itu, pemerintah juga mengambil alih Kaupthing, bank terbesar di Islandia yang memiliki cabang--yang berarti memiliki utang-piutang--di seluruh daratan Eropa.
Keputusan mengambil alih Kaupthing membuat tiga bank terbesar negara itu semua dikuasai pemerintah setelah dua bank sebelumnya, Landsbanki dan Glitnir, juga diambilalih.
Pemerintah menyatakan langkah ini diambil agar perbankan bisa beroperasi dengan tertib di dalam negeri dan mengamankan tabungan warga Islandia.
Pemerintah, dengan mengandalkan kekuasaan darurat yang diberikan parlemen awal pekan ini, membuat bank baru pecahan Landsbanki. Pecahan Landsbanki ini mengambil alih seluruh aset dalam negeri Landsbanki, dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah, dan beroperasi hanya di dalam negeri.
Nama baru bank ini adalah Landsbanki Baru yang bisa melindungi nasabah asli Islandia. Nasabah Landsbanki di luar Islandia masih ditangani Landsbanki (lama) dan nasib uang mereka masih belum jelas.
"Keputusan ini memastikan bank beroperasi melayani keluarga dan bisnis Islandia," ungkap pemerintah.
Untuk mengatasi kepanikan, pemerintah juga menyatakan bahwa Kaupthing da Landsbanki tetap beropasi normal. Seluruh deposit dalam negeri juga dilindungi undang-undang sehingga nasabah tidak perlu khawatir uang mereka akan lenyap.
Karena nasib nasabah di luar negeri tidak jelas, sejumlah negara tetangga yang warganya banyak menjadi nasabah anak perusahaan bank Islandia itu menjadi marah.
Perdana Menteri Inggris Gordon Brown sudah mengancam mengajukan gugatan kepada pemerintah Islandia agar ikut bertanggung jawab atas dana 300 ribu warga Inggris yang menjadi nasabah bank IceSave--anak perusahaan Landsbanki.
Pemerintah Inggris juga mulai membekukan aset Landsbanki di negara mereka--dengan memanfaatkan undang-undang antiterorisme--karena banyak pemerintah daerah yang menyimpan uang di IceSave.
Tiba bank terbesar Islandia itu menjadi kambing hitam kehancuran ekonomi negara kecil itu. Tiga bank itu berkembang, salah satunya, atas dukungan sektor pasar modal pada pertengahan 1990-an.
Dana dari pasar modal membuat bank-bank ini makin kaya dan kemudian beroperasi di seluruh daratan Eropa. Di Inggris saja, mereka memberi kredit sampai US$5,25 miliar (Rp 50,4 triliun) dalam lima tahun.
Saat pasar modal tidak lagi lancar dan para investor menarik uangnya, bank-bank ini kesulitan membiayai utang-utang yang besar ini.
Haarde mengakui bahwa sektor perbankan "terlalu besar" sehingga sulit diatasi oleh negeri kecilnya.
Glitnir, bank terbesar ketiga, menyatakan mereka sudah mendapat dana talangan dari Dana Jaminan Bank Norwegia sebesar 5 miliar kroner Norwegia (Rp 7,8 triliun). Mereka juga mulai menjual aset-asetnya.
Alasan krisis finansial dunia itu adalah karena ketergantungan mereka pada sistem riba, orang menanamkan uang berjumlah besar di bank, sehingga tidak terjadi jual beli, kegiatan produksi atau aliran uang di pasar. Namun apa yang menjadikan Islandia khas dalam keruntuhan ini adalah tingkat bunga yang relatif tinggi yang ditawarkan oleh bank-bank Islandia. Para penanam modal dari negara-negara lain, terutama Inggris, memilih bank-bank Islandia karena tawaran tingkat bunga yang tinggi, akan tetapi bank-bank itu tidak mampu memenuhi janji mereka.
Orang tertipu oleh tawaran memperdayakan dari bank-bank ini sehingga berkeyakinan bahwa uang riba akan menjadi penyelamat mereka. Mereka percaya bahwa dengan tidak membelanjakan uang, dengan menabungnya di bank-bank, mereka akan mampu mendapatkan keuntungan secara cepat. Mereka membayangkan bahwa sistem tersebut akan aman dari resesi dan kebal dari keruntuhan. Mereka mungkin belum pernah mengira bahwa mereka akan menderita akibat menerapkan sistem riba yang telah dilarang Allah. Padalah, Tuhan kita Yang Mahakuasa berfirman di dalam Al Qur’an:
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (QS. Al Baqara, 2:275-276)
Islandia dalam krisis keuangan dunia adalah satu lagi contoh mengenaskan yang diakibatkan oleh sistem kapitalis, materialis. Sehubungan dengan Islandia, kiranya kita juga perlu menegaskan bahwa bukanlah kejutan jika dampak Darwinisme sosial telah mengemuka sangat cepat di negeri itu. Menurut sebuah jajak pendapat yang dilakukan majalah Science di 34 negara di tahun 2005, Islandia muncul sebagai negeri dengan tingkat keyakinan tertinggi kepada Darwinisme:
0 komentar:
Posting Komentar