Celana Melorot
Ini berita dari Amerika Serikat, negara yang dikenal sangat liberal.
Kota Alexandria dan Shreveport dua kota di negara bagian Louisiana,
AS membuat peraturan baru: melarang remaja putra dan putri
mengenakan celana melorot di bawah pinggang yang memperlihatkan
(maaf) celana dalam mereka.
Peraturan itu, tulis Kantor Berita AFP Prancis 29 Agustus 2007,
diterima secara bulat. Larangan ini lahir setelah warga memprotes
gaya berpakaian para remaja, yang berjalan dengan celana melorot di
bawah pinggang itu. Gaya tersebut, menurut Konselor Kota Alexandria,
Louis Marshall, tidak sopan.
Louis Marshall, yang hidup dalam tradisi demokrasi, beruntung.
Pelarangan itu sama sekali tidak menuai protes. Tidak ada aktivis
yang menyatakan peraturan tersebut melanggar hak asasi manusia,
antipluralisme, dan konservatif.
Bayangkan jika di Indonesia, negara yang baru saja menghirup udara
demokrasi. Louis Marshall akan dikecam dan dianggap telah membunuh
kebebasan individu untuk berkreasi. Keputusan pelarangan tersebut
bahkan akan diejek sebagai 'campur tangan pemerintah terhadap hak
pribadi warga negara'.
Ini yang terjadi di Indonesia. Pada Desember 2004, seratus hari
pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan
kegusarannya atas tayangan televisi. Melalui Menko Kesra Alwi Shihab
ketika itu, Presiden yang kuat memegang norma agama dan sosial itu
meminta media televisi untuk tidak mempertontonkan pusar
perempuan. "Itu sangat mengganggu," kata Presiden saat itu.
Pernyataan SBY itu baru sebatas permintaan, belum menjadi keputusan.
Namun, tidak terlalu lama berbagai reaksi dari kalangan aktivis
perempuan bermunculan dalam diskusi-diskusi dan tulisan di media
massa. Mereka antara lain menyatakan, SBY telah melanggar prinsip
demokrasi, terhadap hak asasi, dan kebebasan individu berekspresi.
Mereka menentang keras pernyataan SBY itu. Menurut mereka, apabila
negara dibiarkan mengatur hak pribadi warga negara, di antaranya
soal pusar tadi, maka demokrasi dan kebebasan individu untuk
berkreasi, pun mati. Itu pulalah yang menjadi alasan mereka
menentang Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi.
Apabila disahkan, maka RUAPP tersebut akan mengatur tubuh perempuan
demi kepentingan politik konservatif.
Alexandria dan Shreveport, dua kota di negara bagian Louisiana, AS,
telah memberlakukan keputusan, yang melarang remaja putra dan putri
mengenakan celana melorot. Keputusan itu disambut baik warga, yang
sejak lahir telah menghirup udara demokrasi. Tidak ada yang protes
dan menyebutnya sebagai antikebebasan berekspresi, antipluralis,
konservatif, dan pertanda matinya demokrasi.
Demokrasi, sistem yang memiliki berbagai kelemahan, sesungguhnya
tidak mati hanya karena pelarangan celana yang melorot dan
pelarangan memperlihatkan pusar. Pandangan yang berlebihan terhadap
demokrasilah apalagi membenturkannya dengan nilai-nilai di
masyarakat, nilai-nilai agama, dan menyebutnya sebagai konservatif
yang memungkinkan sistem itu kehilangan esensinya.
Di Alexandria dan Shreveport, remaja-remaja tidak lagi mengenakan
celana melorot. Mereka tidak merasa menjadi konservatif apalagi
antidemokrasi. Di Indonesia, para remaja bebas membiarkan (maaf)
celana dalamnya menyembul. Inilah yang disebut para aktivis sebagai
kebebasan berekspresi. Dan, para aktivis itu sangat takut demokrasi
mati hanya karena remaja menutup pusarnya.
0 komentar:
Posting Komentar